Not All Children with Type 2 Diabetes Have Obesity
Obesitas bukanlah fenotipe universal pada anak-anak dengan diabetes melitus (DM) tipe 2, sebuah tinjauan sistematis global dan meta-analisis melaporkan. Faktanya, studi tersebut menemukan bahwa sebanyak satu dari empat anak dengan DM tipe 2 tidak mengalami obesitas, dan beberapa memiliki ukuran massa tubuh normal. Studi lebih lanjut harus mempertimbangkan mekanisme lain di luar obesitas yang memicu terjadinya diabetes pada anak, penulis menyimpulkan. Artikel penelitian tersebut telah diterbitkan dalam JAMA Network Open.
“Kami menyadari bahwa beberapa anak dan remaja dengan DM tipe 2 tidak mengalami obesitas, tetapi kami tidak mengetahui skala obesitas pada penyakit DM tipe 2, atau variabel apa yang dapat memengaruhi terjadinya diabetes pada kelompok ini,” ahli endokrinologi M. Constantine Samaan, MD, MSc, Profesor Pediatri di Universitas McMaster Hamilton, Ont., menyampaikan kepada Medscape. “Jadi, analisis tersebut memang membantu kami memahami distribusi massa tubuh kelompok ini secara lebih rinci.”
Ini tampaknya menjadi artikel pertama yang secara sistematis mengukur prevalensi obesitas pada anak dengan DM tipe 2. “Tidak banyak yang diketahui tentang kelompok pasien DM tipe 2 yang kecil namun berpotensi penting ini,” kata Samaan.
Penyelidik internasional memasukkan 53 artikel meta-analisis mereka dengan 8.942 peserta dari berbagai wilayah dunia dan ras/etnis. Prevalensi keseluruhan obesitas pada pasien anak dengan DM tipe 2 adalah 75,27% (interval kepercayaan [CI] 95%, 70,47%-79,78%). Prevalensi obesitas pada saat diagnosis pada 4.688 peserta adalah 77,24% (95% CI, 70,55%-83,34%). Peserta laki-laki memiliki peluang obesitas yang lebih tinggi daripada perempuan: rasio peluang, 2,10 (95% CI, 1,33-3,31) – meskipun perempuan umumnya lebih mungkin mengalami DM tipe 2. Prevalensi obesitas tertinggi terjadi pada ras kulit putih sebesar 89,86% (95% CI, 71,50%-99,74%), sedangkan prevalensi terendah pada partisipan Asia sebesar 64,50% (95% CI, 53,28%-74,99%).
Para penulis mencatat bahwa obesitas pada masa kanak-kanak mempengaruhi sekitar 340 juta anak di seluruh dunia dan merupakan pendorong utama DM tipe 2 pediatrik, penyakit agresif dengan tingkat kegagalan pengobatan yang tinggi. Memahami kontribusi massa tubuh terhadap evolusi resistensi insulin, intoleransi glukosa, dan DM tipe 2 dengan komorbiditas dan komplikasinya, seperti penyakit nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD), tetap penting untuk mengembangkan intervensi yang dipersonalisasi.
Faktor risiko DM tipe 2 yang diketahui diantaranya adalah interaksi antara genetika dan lingkungan, termasuk faktor gaya hidup seperti pola makan dan tingkat aktivitas fisik yang rendah, catat Samaan. Kelompok etnis tertentu memiliki risiko DM tipe 2 yang lebih tinggi, seperti halnya bayi yang terpapar obesitas atau diabetes ibu di dalam rahim, katanya. “Dan kemungkinan ada banyak faktor lain yang berkontribusi terhadap risiko DM tipe 2, meski ini masih harus ditentukan.”
Apakah DM tipe 2 “lean” pada anak-anak tanpa obesitas cenderung diturunkan, lebih parah, dan lebih sulit dikendalikan dengan modifikasi gaya hidup? “Itu pertanyaan yang bagus, tapi jawabannya kita tidak tahu,” kata Samaan.
Mengomentari studi tetapi tidak terlibat di dalamnya, Timothy J. Joos, MD, seorang dokter anak di Seattle yang berafiliasi dengan Pusat Medis Swedia, mengatakan temuan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang berapa banyak pasien DM tipe 2 pediatrik yang terlewatkan karena mereka tidak memenuhi kriteria skrining saat ini. “Pada pasien pediatrik DM tipe 2 nonobesitas, genetika (dan riwayat keluarga) jelas memainkan peran yang lebih berat. Dalam praktik saya, saya sering mendapatkan para orang tua meminta saya untuk menskrining anak remaja mereka yang bertubuh kurus untuk mengetahui apakah ia menderita diabetes, karena ada riwayat diabetes pada anggota keluarga.”
Joos mengatakan akan menarik untuk melihat berapa persen pasien DM tipe 2 tanpa obesitas (BMI < persentil ke-95) yang masih memenuhi kriteria kelebihan berat badan (BMI > persentil ke-85) karena ini adalah kriteria utama untuk skrining menurut pedoman American Diabetes Association.
Pedoman saat ini umumnya mencari pengukuran massa tubuh yang meningkat sebagai indikasi skrining utama, catat kelompok Samaan. Namun dalam pandangan mereka, sementara faktor-faktor seperti etnisitas dan paparan diabetes dalam rahim sudah digunakan dalam kombinasi dengan pengukuran berbasis BMI untuk membenarkan skrining, model prediksi diabetes dan pradiabetes yang lebih canggih diperlukan untuk mendukung pendekatan skrining yang lebih komprehensif.
“Karena kelebihan berat badan adalah kriteria awal, anak-anak dengan beberapa kriteria lain tidak diperiksa,” kata Joos. Dia setuju bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memilah faktor risiko lain untuk DM tipe 2 pediatrik tanpa obesitas sehingga pasien ini dapat dideteksi lebih dini.
Model baru mungkin perlu memasukkan faktor gaya hidup, hormon, pubertas, pertumbuhan, dan juga jenis kelamin, tulis penulis. Penanda resistensi insulin, kapasitas produksi insulin, dan penanda lainnya diperlukan untuk menyempurnakan identifikasi mereka yang harus diskrining.
Kelompok Samaan berencana untuk mempelajari temuan secara lebih rinci untuk mengklarifikasi efek massa tubuh pada komorbiditas dan komplikasi DM tipe 2 pediatrik.
Selain keterbatasan studi berupa heterogenitas antarstudi yang signifikan, penulis mengakui berbagai tingkat kontrol glikemik dan dislipidemia di antara peserta.
Tidak ada dana khusus yang disediakan untuk tinjauan dan meta-analisis ini. Para penulis mengungkapkan tidak ada konflik kepentingan. Joos mengungkapkan tidak ada kepentingan bersaing sehubungan dengan komentarnya.
Kisah ini awalnya muncul di MDedge.com, bagian dari Medscape Professional Network.
Penerjemah : Salwa Kamilia, S.Gz
Penulis : Diana Swift
Sumber : www.medscape.com