Resilience Linked to Improved Health Outcomes for Older Adults with Type 2 Diabetes
- Ketahanan psikologis melibatkan kemampuan seseorang untuk pulih dan bekerja melalui trauma atau peristiwa kehidupan yang menantang lainnya.
- Diabetes tipe 2 adalah kondisi kronis yang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang parah.
- Data terbaru menunjukkan ketahanan psikologis dapat meningkatkan outcome kesehatan pada lansia dengan diabetes tipe 2.
Seiring bertambahnya usia, para ahli bekerja untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi penuaan yang sehat dan mendorong kualitas hidup yang lebih baik. Diabetes melitus (DM) tipe 2 adalah gangguan metabolisme kronis yang dapat berdampak pada hasil kesehatan jangka panjang.
Sebuah studi baru yang diterbitkan dalam Journal of the American Geriatrics Society menemukan bahwa lansia yang didiagnosis dengan DM tipe 2 yang memiliki tingkat ketahanan psikologis yang tinggi lebih mungkin untuk memiliki fungsi fisik yang lebih baik, kualitas hidup yang lebih tinggi, dan kemungkinan kelemahan serta disabilitas yang lebih rendah.
DM Tipe 2 dan Ketahanan Psikologis
Ketahanan psikologis, atau resiliensi, tergantung pada kemampuan seseorang untuk merespons dan beradaptasi dengan peristiwa kompleks seperti stres atau trauma. Ini ada hubungannya dengan bangkit kembali setelah mengalami kesulitan.
Anamara Ritt-Olson, Ph.D., seorang profesor kesehatan, masyarakat, dan perilaku di School of Public Health di University of California, Irvine, yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menjelaskan ketahanan kepada Medical News Today dengan cara ini:
“Resiliensi adalah kemampuan yang sangat umum untuk bertahan dan bangkit kembali dari kesulitan. Ini adalah baju besi yang kita pakai untuk menghadapi kesulitan hidup. Kita sering berada dalam siklus kehidupan yang berputar, tetapi resiliensi memungkinkan kita untuk keluar dengan relatif tidak terluka.”
Baik faktor internal maupun eksternal mempengaruhi resiliensi. Orang-orang berbeda, sehingga tingkat ketahanan mereka juga berbeda. Misalnya, orang dewasa dengan tingkat dukungan sosial yang lebih besar cenderung memiliki tingkat resiliensi yang lebih kuat.
Resiliensi dapat mempengaruhi banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk bagaimana mereka mengatasi kondisi kronis. DM tipe 2 adalah gangguan metabolisme kronis yang mempengaruhi kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa sebagai sumber energi.
Ini membutuhkan manajemen jangka panjang yang cermat. Jika dibiarkan tidak dikelola, dapat menyebabkan komplikasi kesehatan yang parah seperti nefropati diabetik dan penyakit jantung. Para ahli masih meneliti metode dan faktor manajemen penyakit terbaik yang mempengaruhi hasil kesehatan jangka panjang.
Dampak Resiliensi terhadap Kesehatan
Para ahli dalam penelitian saat ini ingin memeriksa bagaimana ketahanan psikologis berdampak pada kesehatan lansia penderita DM tipe 2.
Penelitian ini melibatkan lebih dari 3.000 peserta lansia yang menderita DM tipe 2. Para peserta ini awalnya terdaftar dalam uji klinis yang membandingkan intervensi manajemen diabetes yang berbeda. Penulis penelitian ini mem-follow up peserta setelah empat belas setengah tahun kemudian. Mereka mengukur beberapa komponen berbeda di antara para peserta:
- Resiliensi, menggunakan Brief Resilience Scale yang mengandalkan pelaporan diri
- Rawat inap semalam dalam setahun terakhir
- Fungsi fisik, termasuk laporan diri dan melihat kecepatan gaya berjalan dan kekuatan genggaman
- Kualitas hidup fisik dan mental
- Frailty (kelemahan), yang diukur dengan penurunan berat badan yang tidak disengaja, aktivitas fisik, energi rendah, gaya berjalan lambat, dan kekuatan genggaman berkurang
- Gejala depresi
Secara keseluruhan, para peneliti menemukan bahwa tingkat ketahanan psikologis yang lebih tinggi dikaitkan dengan hasil kesehatan yang lebih baik, termasuk jumlah rawat inap yang lebih rendah, fungsi fisik dan kualitas hidup yang lebih baik, dan gejala depresi yang lebih sedikit.
Penulis studi KayLoni Olson, Ph.D., menyoroti hal berikut pada MNT: “Dalam penelitian ini, kami menemukan bahwa di antara lansia dengan diabetes tipe 2, individu yang melaporkan tingkat ketahanan psikologis yang lebih besar (mampu bangkit kembali setelah stres) juga melaporkan kesehatan terkait penuaan yang lebih baik secara keseluruhan. Ini termasuk metrik seperti lebih sedikit rawat inap di tahun sebelumnya, kemungkinan lebih rendah memenuhi kriteria untuk kelemahan, dan kesejahteraan mental yang lebih besar. Namun, peneliti juga menemukan beberapa variasi antara asosiasi resiliensi dengan beberapa metrik. Mereka mencatat bahwa ini menunjukkan bahwa “beberapa asosiasi mungkin berbeda berdasarkan ras [atau] etnis.”
Keterbatasan Studi
Studi khusus ini memiliki beberapa keterbatasan yang menunjukkan perlunya penelitian yang lebih mendalam.
Pertama, penelitian tidak dapat menentukan kausalitas. Penelitian ini juga merupakan penelitian cross-sectional, yang berarti penulis tidak dapat menentukan arah hubungan variabel.
Keterbatasan lain terkait dengan studi tertentu dan metode analisis. Misalnya, mereka tidak melihat semua faktor sosial budaya yang dapat mempengaruhi resiliensi. Mereka juga tidak memeriksa aspek spesifik penuaan, seperti fungsi kognitif. Mayoritas peserta berkulit putih dan perempuan, yang dapat membatasi generalisasi temuan penelitian.
Dr. Ritt-Olson menawarkan wawasan dan kata-kata peringatan berikut: “Temuan mereka menunjukkan bahwa ketika lansia membangun resiliensi, mereka akan menemukan manfaat dari kekuatan mental dan fisik mereka. Mereka bahkan mungkin dapat menghindari rawat inap. Ada tantangan dengan penelitian yang juga diakui oleh penulis, misalnya, ukuran resiliensi mereka adalah tentang persepsi umum Anda tentang seberapa cepat Anda bangkit kembali. Kita dapat melebih-lebihkan kemampuan kita untuk “bangkit kembali,” dan itu tidak terkait dengan peristiwa aktual yang perlu disesuaikan.”
Terlepas dari itu, penelitian ini menawarkan wawasan tentang hubungan penting antara pikiran dan tubuh. Penelitian lebih lanjut dapat mengkonfirmasi dampak ketahanan psikologis dan memberikan tindak lanjut jangka panjang.
“Studi saat ini tidak dapat memberi tahu kami apakah ketahanan psikologis menyebabkan kesehatan keseluruhan yang lebih baik atau sebaliknya, yang berarti bahwa penelitian tambahan penting untuk memisahkan hubungan ini,” kata Dr. Ritt-Olson.
“Dalam jangka pendek, menggabungkan konsep-konsep seperti resiliensi ke dalam studi tentang penuaan mungkin tidak hanya berkontribusi pada pemahaman yang lebih holistik tentang pengalaman penuaan tetapi juga dapat membantu memperluas narasi seputar penuaan sehingga individu merasa diberdayakan dibandingkan dengan peserta pasif. Ini bersinggungan dengan upaya dalam komunitas penelitian untuk mendefinisikan penuaan yang sehat tidak hanya dengan tidak adanya masalah yang berhubungan dengan Kesehatan, tetapi juga dengan kualitas kehidupan tahun-tahun berikutnya.
Penulis: Jessica Norris
Penerjemah: Salwa Kamilia Cahyaning Hidayat, S.Gz
Sumber: www.medicalnewstoday.com