Reportase Webinar
Dialog Kebijakan Diabetes Melitus Seri 6: Kebijakan Obat-Obatan untuk Diabetes Melitus
21 September 2022
PKMK – Yogya. Tim Lintas Departemen FK – KMK UGM bekerjasama dengan Lintas Fakultas UGM, Pokja URT UGM, dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK – KMK UGM menyelenggarakan webinar yang yang mengangkat topik kebijakan obat-obatan untuk diabetes melitus. Webinar ini merupakan seri ke-6 dari rangkaian Webinar Dialog Kebijakan Diabetes Melitus yang telah dilaksanakan sejak Agustus dan akan berlangsung hingga November 2022. Webinar seri ke-6 ini bertujuan untuk membahas lebih dalam mengenai analisis availability dan affordability obat-obatan DM di Indonesia serta usulan policy making terkait obat-obatan DM untuk masa mendatang. Kali ini, webinar dipandu oleh Dr. Diah Ayu Puspandari Apt, MBA M.Kes, AAK, dan mengundang narasumber dari PT. Novo Nordisk Indonesia, serta pembahas dari Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI), Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan RI, dan Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan RI.
Analisa Availability dan Affordability Obat-Obatan DM di Indonesia serta Usulan Policy Making Terkait Obat DM
Pada sesi pertama, Banarsono Trimandojo selaku Direktur Market Access & Public Affairs PT. Novo Nordisk Indonesia membuka materi dengan memaparkan kondisi diabetes melitus di Indonesia saat ini. Menurut IDF Atlas, prevalensi DM di Indonesia mencapai 11% atau sekitar 19,5 juta jiwa. Namun dari jumlah tersebut, yang mendapatkan penanganan hanya sekitar 2,5 juta orang, dan yang gula darahnya terkontrol hanya sekitar 20.000 orang. Angka ini tentunya sangat memprihatinkan mengingat besarnya pembiayaan yang sudah dikeluarkan untuk DM. Menurut data, 74% pembiayaan DM dari BPJS hanya untuk menangani komplikasi DM, bukan untuk obat-obatan DM. Karenanya, jika DM bisa dideteksi lebih awal dan dikontrol untuk mencegah komplikasi, maka angka komplikasi dan pembiayaan untuk DM dapat menurun. Pertanyaannya adalah, bagaimana kebijakan obat DM yang tepat sehingga dapat meningkatkan jumlah pasien yang mencapai target, serta menurunkan angka komplikasi dan pembiayaan?
Kebijakan mengenai tata laksana DM tipe 2 dalam era JKN tertuang dalam pedoman yang dikeluarkan oleh PERKENI dan Kementerian Kesehatan RI, yang meliputi Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK), Panduan Praktik Klinis (PPK), dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk Puskesmas atau PPK tingkat 1. Selain itu, Kementerian Kesehatan RI juga telah mengeluarkan daftar obat-obatan DM yang tercantum dalam e-katalog. Saat ini, kebijakan pengobatan DM di JKN mengacu pada ketentuan yang terdapat di FORNAS dengan menerapkan prinsip rujuk – rujuk balik dari PPK tingkat 1 sampai PPK tingkat 3. Namun berdasarkan Konsensus PERKENI dan PNPK, ada lebih banyak pilihan terapi DM yang bisa digunakan, termasuk penggunaan insulin di PPK tingkat 1. Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa terdapat gap antara klinisi dengan kebijakan yang diimplementasikan di lapangan.
Sebagai penutup, Banarsono menyampaikan usulan policy making terkait obat DM untuk masa mendatang, yakni diperlukannya sinkronisasi antara FORNAS, pedoman tata laksana DM dalam JKN, dan procurement system (sistem pengadaan) untuk memastikan ketersediaan dan keterjangkauan obat DM. Di PPK tingkat 1, diperlukan tambahan opsi terapi yang mumpuni dalam mengendalikan gula darah. Di PPK tingkat 2, obat dengan benefit beyond blood glucose, seperti obat dengan efek proteksi jantung dan ginjal, perlu ditambahkan ke JKN untuk mengurangi risiko komplikasi DM. Selain itu, diperlukan sistem molecule-based classification di FORNAS dan procurement system karena akan sangat membantu pengobatan DM yang tepat dan efektif.
Reporter: Salwa Kamilia Cahyaning Hidayat, S.Gz (PKMK UGM)