Diabetes Treatment and Research at Yale: 30 Years of Progress
The New England Journal of Medicine melaporkan sebuah penemuan penting pada 2019 dari uji klinis yang dipimpin oleh Yale: untuk pertama kalinya, peneliti menemukan bahwa sebuah obat, teplizumab, dapat menghambat perkembangan diabetes tipe 1 selama 2 tahun.
Kevan Herold, MD., C.N.H. Long Professor of Immunology and Professor of Medicine (Endocrinology), dan selaku ketua tim peneliti, mengatakan bahwa teplizumab besar kemungkinan akan disetujui oleh FDA pada pertengahan November untuk mereka yang memiliki risiko tinggi diabetes, tidak hanya pada mereka yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit ini. Sekali disetujui, semua anak-anak harus diskrining untuk risiko diabetes sehingga mereka yang berisiko tinggi akan mendapat kesempatan untuk mencegah atau setidaknya menghambat timbulnya penyakit, ujar Herold.
Pencegahan apapun dari onset suatu penyakit kronis tentu bermakna, kata Herold. “Jika Anda berusia 8 tahun, dan Anda mencegah diabetes 2 tahun atau lebih, itu akan menjadi waktu yang lama,” ujarnya. “Anak-anak menjadi lebih matang. Mereka dapat lebih baik mengatasi penyakitnya.”
Uji coba teplizumab hanya satu dari contoh bagaimana Yale School of Medicine menjadi terdepan dalam penelitian dan pengobatan diabetes. Pada Yale Diabetes Research Center, didirikan tahun 1993, peneliti bekerja untuk lebih memahami diabetes tipe 1 dan 2. Pada Yale Diabetes Center, didirikan tahun 1994, para dokter menerjemahkan pengetahuan itu menjadi pengobatan kepada pasien.
Diperkirakan sekitar 34,2 juta orang di AS, atau 10,5% dari populasi, memiliki diabetes. Dikarakteristikkan dengan kadar gula darah tinggi yang abnormal, diabetes terjadi ketika tubuh tidak dapat membuat atau menjadi resisten terhadap insulin, di mana sel-sel di tubuh membutuhkannya untuk membawa dan menyimpan gula darah, bernama glukosa. Untuk mengatur gula darahnya, orang dengan diabetes harus mengkonsumsi insulin dan memantau apa yang mereka makan. Komplikasi dari diabetes tipe 1 dan 2 dapat beruba penyakit kardiovaskuler, begitu pula dengan masalah mata, kaki, dan ginjal.
Mencegah Diabetes Tipe 1
Yale Diabetes Research Center, yang didanai oleh National Institutes of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK), adalah satu dari 16 pusat riset diabetes yang didanai NIDDK secara nasional. Peneliti mempelajari diabetes tipe 1 dan 2 pada anak-anak dan dewasa dan diabetes gestasional. Mereka juga mempelajari imuno-biologi dari diabetes, sel dan biologi vaskular, dan obesitas. Pusat ini merupakan lokasi dari 23 uji klinis diabetes yang didanai oleh NIH.
Pada orang dengan diabetes tipe 1, tubuh melakukan serangan autoimun melawan sel pankreas yang memproduksi insulin. Teplizumab adalah sebuah antibodi yang melawan respon tersebut dan akan menjadi obat pertama yang mencegah penyakit autoimun. “Kami sangat bersemangat tentang hal tersebut,” kata Herold, co-director Yale Diabetes Research Center.
Dalam uji Herold, 76 partisipan yang berisiko tinggi menderita diabetes tipe 1 dan memiliki kerabat penderita diabetes, secara acak diminta untuk meminum teplizumab atau placebo selama 2 minggu. Mereka kemudian melakukan cek uji toleransi glukosa secara periodik sampai akhirnya menderita diabetes, atau sampai uji berakhir. Hingga uji berakhir, 57% partisipan yang mendapat teplizumab bebas dari diabetes, dibandingkan dengan 28% yang menerima placebo.
Hasil dari uji merepresentasikan sebuah pergeseran paradigma untuk penelitian autoimun, Kata Herold. Jika diabetes dapat dicegah, mungkin penyakit autoimun lain seperti artritis reumatoid atau sklerosis multipel, dapat dicegah juga. Herold sangat berharap dengan penelitian ini “dapat memulai perubahan cara berpikir tentang penyakit yang sudah banyak tersebar ini dan menemukan orang yang mau mengembangkannya dan menghentikan penyakit sebelum akhirnya terjadi.”
Resistensi Insulin pada Diabetes TIpe 2
Gerald I. Shulman, MD., Ph.D., MACP., MACE., George R. Cowgill Professor of Medicine (Endocrinology) dan Professor of Cellular and Molecular Physiology, dan co-director Yale Diabetes Research Center, telah menghabiskan 30 tahun terakhirnya meneliti apa yang menyebabkan resistensi insulin dan diabetes tipe 2.
Shulman dan rekan-rekannya memulai penelitian menggunakan NMR (nuclear magnetic resonance spectroscopy), dikombinasikan dengan isotop stabil sebagai langkah non-invasif untuk melacak lonjakan metabolik dalam organ yang spesifik di dalam tubuh manusia dan tikus transgenik. Mereka menemukan bahwa resistensi insulin di otot dapat merupakan akibat dari penurunan transpor glukosa yang terstimulasi insulin dan bahwa orang dengan resistensi insulin memiliki timbunan lemak di dalam tubuhnya, seperti di hati dan otot, yang seharusnya lemak normalnya tidak disimpan di sana.
“Bukan akibat seberapa gemuk seseorang yang menyebabkan resistensi insulin, tapi dimana lemak disimpan,” jelas Shulman. “Ketika lemak disimpan di luar tempat seharusnya, di hati dan otot skelet, hal ini yang menyebabkan resistensi insulin dan memicu perkembangan sindroma metabolik, penyakit kardiovaskuler, dan diabetes tipe 2. Contoh yang paling ekstrim adalah pasien dengan lipodistrofi. Mereka secara tampakan tidak memiliki lemak tapi ditemukan resisten insulin akibat akumulasi lemak di hati dan sel ototnya. Ketika kami mengobati mereka dengan leptin, lemak di organ-organ ini menghilang dan resistensi insulin serta diabetes terobati.”
Seperti dilaporkan pada sebuah artikel tahun 2007 di jurnal PNAS, sebuah studi yang dipimpin oleh Kitt Petersen, MD., Professor of Medicine (Endocrinology), menemukan bahwa pada orang yang menderita resistensi insulin – tapi belum menderita diabetes – heparnya mengakumulasikan sejumlah besar lemak yang tidak biasa. Studi tersebut juga menemukan bahwa lemak yang tertimbun di darah dari subjek resisten insulin, memicu terjadinya penyakit kardiovaskuler. Pada 2022, Petersen mempublikasikan tulisan di JCI Insight yang menunjukkan bahwa meski ada penurunan lemak hati dibanding sebelumnya, percaya bahwa tetap berhubungan dengan resistensi insulin dan peningkatan risiko kardiometabolik.
Namun, peneliti juga telah menemukan bahwa diet dan olahraga dapat melawan kedua penumpukan lemak ektopik dan resistensi insulin. Artikel tahun 2011 yang diterbitkan PNAS dari kelompok Shulman menemukan bahwa pada orang dengan resistensi insulin non diabetik, 45 menit olahraga kaki memicu otot skelet untuk merespon insulin lagi dan menurunkan timbunan lemak di hati setelah makan. Pada studi tahun 2005 yang dipimpin oleh Petersen dan dipublikasikan di Journal Diabetes, pasien diabetik obesitas yang kehilangan 10% berat badannya memperlihatkan bahwa kondisi diabetes dan resistensi insulinnya pergi dan kadar lemak di heparnya juga kembali ke kadar normal.
Kelompok Shulman telah membongkar basis molekuler untuk resistensi insulin yang diinduksi lemak pada hepar, otot skelet, dan jaringan adiposa putih, yang membantu penemuan berbagai obat baru untuk NAFLD/NASH dan diabetes tipe 2. Salah satu obat baru ini membantu membuang kelebihan lemak di hepar. Obat tersebut, sebuah CRP (controlled-release mitochondrial protonophore), memperbaiki mitokondria di hepar, membuatnya membakar lebih banyak lemak. Studi menunjukkan bahwa CRMP dapat secara menyeluruh merubah kondisi ini, dan CRMP dalam tahap studi pembolehan IND.
Meningkatkan Terapi Diabetes
Peningkatan risiko masalah kardiovaskuler untuk pasien diabetes masih ada meski pasien sudah mengatur kadar gula darahnya, kata Silvio Inzucchi, MD., Professor of Medicine (Endocrinology) and Medical Director Yale Diabetes Center.
“Meskipun hal itu merupakan pikiran intuitif bahwa kontrol yang baik terhadap diabetes dapat memitigasi komplikasi-komplikasi tersebut, sesungguhnya tidak berakhir begitu saja,” ujar Inzucchi. “Hal ini telah menjadi sedikit sebuah pertanyaan besar mengapa, jika Anda memperbaiki masalah utama yang mendasari dengan diabetes, Anda tidak dapat mengurangi angka komplikasi ini. Hal ini telah menjadi minat saya selama bertahun-tahun.”
Dua obat kelas relatif baru untuk diabetes tipe 2 dapat memitigasi gejala kardiovaskuler dengan membantu mengatur gula darah. Pada 2015, Inzucchi dan rekannya melaporkan pada New England Journal of Medicine bahwa pasien dengan diabetes tipe 2 secara acak diberikan obat diabetes tipe 2 empaglifozin dan ditemukan memiliki risiko lebih rendah untuk meninggal dari akibat kardiovaskuler dibanding mereka yang mendapat placebo. Empaglifozin, yang disetujui penggunaannya oleh FDA pada 2014, adalah inhibitor SGLT2. Inhibitor SGLT2 menurunkan kadar gula darah dengan menyebabkan ginjal untuk mengeluarkan lebih banyak glukosa melalui urin. Obat ini juga menurunkan risiko masalah ginjal, kata Inzucchi.
Sebuah kelas yang berbeda dari obat diabetes tipe 2, agonis reseptor GLP-1, juga telah diasosiasikan dengan penurunan komplikasi kardiovaskuler begitu juga dengan penurunan berat badan yang signifikan, ujarnya. Reseptor agonis GLP-1 menstimulasi tubuh untuk memproduksi lebih banyak insulin tapi juga melakukan hal-hal lain seperti menurunkan nafsu makan, yang berujung pada penurunan berat badan. William Tamborlane, MD., Professor of Pediatrics (Endocrinology), memimpin studi yang dipublikasikan pada New England Journal of Medicine pada 2019, mengarahkan pada indikasi pediatrik salah satu agonis reseptor GLP-1, liraglutide, untuk anak muda dengan diabetes tipe 2.
“Di antara kedua kelas obat, kami sekarang memiliki bukti kuat bahwa pengobatan ini tidak hanya menurunkan glukosa untuk membantu dengan kontrol diabetes, tapi juga mencegah komplikasi jantung dari diabetes,” kata Inzucchi Dengan obat multifungsi ini, klinisi di Yale Diabetes Center dapat memilih pengobatan diabetes sesuai kebutuhan pasien, tambah Inzucchi. “Hal itu telah menjadi sebuah perubahan besar di bidang kami.”
Sebagai tambahan, sebuah agonis reseptor GLP-1/GIP baru, tirzepatide, baru-baru ini telah menunjukkan efektivitas ekstrim dalam penurunan berat badan. Orang dengan obesitas yang diterapi dengan tirzepatide dapat kehilangan sekitar 52 pon dari rata-rata, berdasarkan hasil studi yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine. Ania Jastreboff, MD., Ph.D., Associate Professor of Medicine (Endocrinology) and Pediatrics (Pediatric Endocrinology), merupakan penulis utama studi tersebut.
Pengembangan Teknologi
Diabetes telah menjadi penyakit suntikan tiap hari: suntikan jari untuk cek kadar gula darah, kemudian injeksi insulin. Namun berdasarkan Inzucchi, alat yang dia dan rekan-rekannya miliki untuk membantu pasien diabetes tipe 1 dan 2 telah berkembang beberapa tahun terakhir.
“Untuk diabetes tipe 1, Saya rasa perkembangan utamanya adalah terkait teknologi,” kata Inzucchi. Pada 2016, contohnya, FDA telah menyetujui alat yang mengukur kadar gula darah pasien tiap 5 menit melalui monitor glukosa kontinyu dan mengirimkan informasinya melalui pompa yang juga mengirimkan insulin. Sistem itu, dikatakan sebuah sistem pengiriman insulin alur tertutup hibrida karena ketika seseorang dengan diabetes masih membutuhkan bolus insulin sebelum makan, berhubungan ke pasien 24/7 dan mampu mengirimkan insulin fisiologis lebih, kata Inzucchi. Stuart Weinzeimer, MD., Professor (Pediatric Endocrinology and Diabetes) dan Interim Chief Pediatric Endocrinology, merupakan ketua di lokasi Yale yang membawa alat ini menuju penyetujuannya. Tamborlane, ketua pediatrik endokrinologi selama lebih dari 37 tahun, mengawal studi pada pengembangan terapi pompa insulin, monitor glukosa berlanjut, dan sistem pengiriman insulin otomatis. Weinzimer juga telah melakukan studi longitudinal yang menjelaskan efek diabetes pada perkembangan otak pada anak muda dengan diabetes tipe 1.
Pediatric Partners
Jennifer Sherr, MD, PhD, professor in pediatrics (endocrinology), Michelle Van Name, MD, assistant professor of pediatrics (endocrinology), dan Laura Marie Nally, MD, assistant professor of pediatrics and of pediatric endocrinology and diabetes, adalah pimpinan nasional yang membantu anak muda dengan diabetes tipe 1 untuk mengatasi kondisi medis kronis ini. Mereka telah melakukan kerja berkelanjutan pada sistem pengiriman insulin otomatis baru dan terapi baru untuk diabetes tipe 1. Sonia Caprio, MD., Professor of Pediatric (Endocrinology), telah mempelajari obesitas dan diabetes tipe 2 selama 25 tahun, dan pekerjaannya telah membawa permasalahan obesitas pada masa kanak-kanak menjadi perhatian nasional. Stephanie Samules, MD., instruktur pediatrik juga telah memfokuskan pekerjaannya pada perawatan anak muda dengan diabetes tipe 2.
Penerjemah: dr. Alif Indiralarasati
Penulis: Ashley P. Taylor
Editor: Jane E. Dee
Sumber: medicine.yale.edu