Pelabelan Dinilai Penting, Kepala BPOM Minta Industri AMDK Berinovasi
Sumber gambar: Tempo
INFO NASIONAL — Industri Air Minum dalam Kemasan (AMDK) diminta Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi masyarakat. Hal itu dikatakannya dalam sebuah sarasehan memperingati Hari Keamanan Pangan Dunia di Jakarta, 7 Juni 2022.
“Pelabelan risiko Bisfenol A (BPA) bisa memotivasi pelaku industri untuk berinovasi dalam menghadirkan kemasan air minum yang aman bagi kesehatan publik,” kata dia. Dari sisi konsumen, lanjut dia, pelabelan risiko BPA adalah hak masyarakat untuk teredukasi dan memilih apa yang aman untuk dikonsumsi.
Regulasi pelabelan BPA—bahan kimia yang bisa menyebabkan kanker dan kemandulan—pada produk AMDK, kata Penny, merupakan upaya perlindungan pemerintah atas kesehatan masyarakat. “Regulasi pelabelan risiko BPA sudah kami serahkan ke Sekretariat Kabinet untuk pengesahan dan kami diminta untuk mendiskusikannya secara terbuka ke publik, termasuk pada hari ini,” kata Penny.
Dia mengatakan, regulasi pelabelan tersebut mengacu pada hasil kajian dan riset mutakhir di berbagai negara terkait risiko paparan BPA pada kesehatan publik. “Semua kajian (scientific research) lebih kepada resiko yang sangat tinggi terhadap kesehatan akibat dari BPA,” katanya.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan BPOM Rita Endang, mengatakan hal senada terkait bahaya BPA pada galon guna ulang berbahan polikarbonat, jenis plastik keras yang pembuatannya menggunakan BPA. “Pelabelan ini semata untuk perlindungan kesehatan masyarakat,” kata Rita dalam sebuah diskusi publik pekan lalu. “Jadi jelas tidak ada istilah kerugian ekonomi,” tambah dia.
Rita menuturkan bila BPA sampai berpindah (migrasi) dari kemasan plastik ke dalam tubuh, senyawa tersebut dapat mengganggu sistem hormon. Efeknya pada kesehatan termasuk munculnya gangguan pada sistem reproduksi, baik pada pria dan wanita. “Gangguan dapat menyebabkan kemandulan, menurunnya jumlah dan kualitas sperma, feminisasi pada janin laki-laki, gangguan libido, sulit ejakulasi,” katanya.
Gangguan lain bisa berupa munculnya penyakit tidak menular semisal diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal kronis, kanker prostat dan kanker payudara. Selain itu, masih ada efek serius berupa gangguan perkembangan kesehatan mental dan autisme pada anak-anak.
Secara khusus, Rita merinci alasan rancangan regulasi pelabelan BPA menyasar produk galon guna ulang. Dia bilang saat ini sekitar 50 juta lebih warga Indonesia sehari-harinya mengkonsumsi air kemasan bermerek. Dari total 21 miliar liter produksi industi air kemasan per tahunnya, katanya, 22 persen di antaranya beredar dalam bentuk galon guna ulang. Dari yang terakhir, 96,4 persen berupa galon berbahan plastik keras polikarbonat. “Yang diinginkan BPOM sebatas produsen memasang stiker peringatan,” katanya.
Dekan Fakultas Farmasi Universitas Airlangga Prof. Junaidi Khotib mendesak BPOM segera menerbitkan aturan pelabelan risiko BPA. Hal itu dilakukan agar masyarakat tidak terus-menurus terpapar BPA yang ada pada galon guna ulang. “Saat ini, masyarakat belum mengetahui bahaya besar dari paparan BPA. Bagaimana bisa tahu bila label peringatannya belum pernah ada,” katanya.
Sementara Guru Besar Teknik Kimia Universitas Diponegoro Prof. Dr. Andi Cahyo Kumoro, S.T., M.T. mengatakan, pelepasan BPA pada galon guna ulang rentan terjadi bila galon sampai tergores atau terpapar sinar matahari langsung. Efeknya, paparan BPA bisa memunculkan gangguan pada sistem saraf dan perilaku anak, sementara pada ibu hamil, bisa memicu keguguran. “Di berbagai negara sudah tidak direkomendasikan menggunakan kemasan yang mengandung BPA,” ujar dia.
Draft peraturan pelabelan risiko BPA yang dipublikasi BPOM pada November 2021 antara lain mewajibkan produsen air kemasan yang menggunakan galon berbahan plastik polikarbonat untuk memasang label peringatan “Berpotensi Mengandung BPA”, kecuali mampu membuktikan sebaliknya. Draft juga mencantumkan masa tenggang (grace period) penerapan aturan kurun tiga tahun sejak pengesahan.(*)
Penulis: Tempo
Sumber: nasional.tempo.co