“Diagnosisku Memecah Belah Keluargaku”: Seorang Pria di London Membagikan Kisahnya Hidup dengan Diabetes Tipe 1
Kelelahan ekstrim, kehilangan berat badan secara cepat dan sering berkemih – hal ini hanya beberapa dari ekor gejala seseorang dengan diabetes tipe 1 yang belum terdiagnosis. Rob Taylor – lahir di Lewisham – mulai mengalami gejala ini ketika berusia 9 tahun. Kondisinya berubah secara cepat dan sekelebat, awalnya dirinya dikirim ke A&E oleh dokter umum di daerahnya.
Malam itu, hidup Rob berubah selamanya, “Waktu itu, semua yang saya ketahui adalah bahwa saya tidak dapat makan gula,” kenang dia. “Saya tidak terlalu melihat ke diri saya secara langsung. Saya tidak akan mengecek gula darah saya, Saya hanya secara rutin disuntik.” Seminggu setelah diagnosisnya, Rob masih mengalami kelelahan berarti dan kehausan.
Hal menjadi buruk bagi Rob, 29, ketika kadar HbA1c – kadar rerata gula darah seseorang selama periode panjang tertentu – meningkat hingga 96 mmol/mol (10,9%). Menurut Diabetes UK, seharusnya kadarnya berkisar di 48 mmol/mol (6,5%) atau dibawahnya untuk diabetes. Kadar yang lebih tinggi dari ini berisiko menyebabkan gangguan ginjal, gangguan penglihatan, bahwa amputasi kaki.
Ini adalah realita untuk 400.000 orang yang hidup di Inggris dengan diabetes tipe satu, yang disebabkan ketika sistem imun menyerang sel yang memproduksi insulin di pankreas. Hal ini menghasilkan sebuah siklus tak berkesudahan, menantang dan seumur hidup untuk memantau kadar gula darah dan injeksi insulin agar dapat bertahan hidup.
Pada pekan kesadaran diabetes tipe satu tahun ini (Juni 13-19), terdapat ketidakmudahan di antara pakar bahwa diabetes mulai terasa sulit untuk diatur, begitu juga dengan tantangan fisik dan mental yang datang bersamaan.
Sekitar 63% orang dewasa dengan diabetes tipe 1 tidak dapat mengakses secara wajar dukungan layanan kesehatan berkaitan dengan kondisinya akibat pandemi, menurut laporan yang dipublikasikan oleh Junior Diabetes Research Foundation (JRDF). Hal yang sama juga ditunjukkan oleh peneliti bahwa 50% orang dewasa dengan DMT1 telah disurvei dan mengalami kesehatan mental yang buruk, sedangkan 44% anak-anak mengatakan mereka membutuhkan dukungan emosional.
Untuk diabetes tipe 1 seperti Rob tidak menjadi kejutan. Untuknya, sumber besar dari usaha kesehatan mentalnya berasal dari fakta bahwa orang tuanya tidak begitu paham bagaimana harus menghadapi diagnosisnya. “Orang tua saya sangat mengatur dan tidak tahu bagaimana harus menghadapinya. Mereka akan marah kepada saya dan saya akhirnya menyadari bagaimana mereka sangat membenci penyakit saya karena menjadi sumber permasalahan di hidup saya”, ungkapnya.
“Saya mulai takut pada angka di layar – jika mereka tinggi, saya akan berpikir ‘saya orang yang buruk’ atau ‘kenapa saya tidak dapat melakukannya?’ Terkadang, terapi kebiasaan kognitif membantu saya untuk mengabaikan angka bagi saya sebagai manusia.”
Kontrol Rob terhadap diabetesnya berakhir sangat spiral dengan menghabiskan lebih dari satu setengah minggu di rumah sakit. Sebenarnya, layanan sosial juga terlibat dan dia memiliki pilihan untuk tinggal di tempatnya atau belajar untuk merawat dirinya sendiri, lalu dia masuk ke sistem “foster care”, di mana sesuatu mulai membaik.
Belajar untuk Mengatasi Diabetes
Sekitar 20 tahun dari diagnosisnya, Rob mengatakan bahwa dia menyadari bahwa kemarahan orang tuanya berasal dari tempat pelayanan kesehatan. Sekarang, dia rutin olahraga, makan rendah karbohidrat, dan sebagai hasil kadar HbA1c dapat berada di angka terendah. “Ini bukan masalah besar lagi bagi saya,” tambahnya.
Mary Murphy telah hidup dengan DMT1 selama 24 tahun sejak usianya 18 tahun. Anaknya yang berusia 12 tahun juga mengidap DMT1. Dia bekerja di tim komunitas dalam JDRF, yang berkomitmen untuk mengeradikasi DMT1. Sayangnya, kata dia, cerita seperti Rob sangat terlalu sering terjadi.
Dia mengatakan kepada MyLondon: “Ketika usiamu 11 atau 12, kamu diharapkan untuk lebih mandiri dan tidak ada bantuan untuk sekolah anak-anak. Saya merasa pemerintah lupa bahwa dirimu masih anak-anak.. Anak-anak tidak memiliki kedewasaan untuk mengatur dirinya sendiri.”
Diabetes tipe 1 mengalami berbagai gejala dari fisik hingga permasalah sehari-hari. Terdapat sakit kepala, pusing, mudah berdarah, sendi bengkak, tekanan darah tinggi, hilang berat badan dan peningkatan kelelahan – dan lain sebagainya. Namun penyuara seperti Mary telah memanggil lebih banyak perhatian tentang gejala terkait kesehatan mental juga.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi DMT1 adalah mengatur perubahan. Hal ini terkadang dapat mempengaruhi hubungan, seperti pada suatu momen ketika gula darahnya naik atau turun, dapat menyebabkan mereka merasa agitasi atau frustasi.
Akibat dari diabetes pada anak Mary adala sesuatu yang secara konstan hadir di pikirannya, terutama memberikan efek pada kognisinya. Mary sendiri – meski sudah berpengalaman lebih dari 2 dekade – mengatakan masih berjuang untuk membuat keputusan sederhana jika gula darahnya terlalu tinggi atau rendah. Terkadang, hal ini dapat semudah memutuskan apa menu makan malamnya.
Angel Strachan, yang bekerja sebagai petugas hubungan masyarakat JDRF, mengatakan bahwa masyarakat menjadi perlahan peduli terhadap realitas seorang penderita DMT1. “Kita akan ke sana,” katanya. “Kesehatan mental telah menjadi yang kedua. Apa yang kita harapkan pada klinik adalah lebih pada kepedulian tenaga kesehatan dan peningkatan pelatihan. Hanya karena bagian mengambil darah di jari telah baik, bukan berarti kesehatan mental seseorang juga sudah baik.”
Salah satu tujuan kunci lembaga adalah untuk memastikan bahwa teknologi yang meningkatkan gula darah seseorang tidak hanya memberikan alasan terkait kesehatan fisik tapi juga kesehatan mental, seperti peneliti yang menunjukkan bahwa seseorang dengan teknologi ini dapat mengarahkan kepada kualitas hidup yang lebih baik dan kondisi mental yang lebih baik.
Terakhir, dari ketiganya, Rob, Mary dan Angel mengatakan bahwa mereka memikirkan bahwa teknologi akan menjadi penting dalam penanganan diabetes di masa depan. Mungkin suatu hari nanti dapat membantu menemukan obatnya.
Penerjemah: Alif Indiralarasati
Sumber: mylondon.news