Reportase Webinar
Dialog Kebijakan Diabetes Melitus Seri 9: Kebijakan Riset untuk Diabetes Melitus
19 Oktober 2022
PKMK – Yogya. Tim Lintas Departemen FK – KMK UGM bekerjasama dengan Lintas Fakultas UGM, Pokja URT UGM, dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK – KMK UGM menyelenggarakan webinar yang berjudul kebijakan riset untuk diabetes melitus (DM). Webinar ini merupakan seri ke-9 dari rangkaian Webinar Dialog Kebijakan Diabetes Melitus yang telah dilaksanakan sejak Agustus dan akan berlangsung hingga November 2022. Pada webinar seri ke-9 ini, acara dipandu oleh dr. Prenali Dwisthi Sattwika, Sp.PD selaku moderator.
Overview of Translational Study in Diabetes Mellitus: Precision Diabetes Medicine
Di sesi pertama, dr. Gunadi, PhD, Sp. BA membahas mengenai penelitian translasional, yang merupakan penerapan hasil penelitian di laboratorium, klinik, atau di lapangan yang ditransformasikan menjadi terapi baru untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Salah satu penelitian translasional yang telah dikembangkan adalah precision medicine. Precision medicine berfokus pada pendekatan terapi yang efektif untuk pasien berdasarkan faktor genetik, lingkungan, dan gaya hidup. Dengan adanya precision medicine, terapi akan disesuaikan berdasarkan genom dan informasi klinis pasien, sehingga efektivitas pengobatan akan meningkat dan efek sampingnya berkurang.
Kembali berbicara mengenai DM, precision medicine berpotensi menjadi solusi untuk menekan prevalensi dan pembiayaan DM serta komplikasinya, yang dikenal dengan precision diabetes medicine. Contoh penerapan precision diabetes medicine adalah pada maturity onset diabetes of the young (MODY). Berdasarkan mutasi gennya, MODY dikelompokkan menjadi 14 subtipe. Dengan penerapan precision diabetes medicine, diketahui bahwa tMODY 1, 3, dan 12 dapat ditangani dengan diet dan sulfonilurea sehingga tidak membutuhkan terapi insulin, sedangkan MODY 2 justru tidak memerlukan obat antidiabetes oral. Oleh karena itu, klinisi harus dapat mempertimbangan pasien mana yang sekiranya memiliki MODY untuk diperiksa genetiknya, sehingga dapat diberikan terapi sesuai subtipe MODY-nya.
Analisa dan Usulan Policy Making terkait Riset Epidemiologi DM di Indonesia
Sebagai pembuka sesi kedua, dr. Imam Manggalya Adhikara, PhD., Sp.PD menyampaikan bahwa jika tidak ada riset yang memadai dan intervensi yang terstruktur untuk penanganan DM, maka Indonesia akan berhadapan dengan peningkatan kasus DM dan komplikasinya, dengan perkiraan jumlah penderita DM sebanyak 15 juta jiwa di tahun 2030. Menurut Imam, salah satu riset yang perlu dilakukan adalah identifikasi faktor risiko apa saja yang berperan dalam progresivitas DM di Indonesia. Dengan adanya riset tersebut, maka dapat dikembangkan intervensi yang sesuai untuk mencegah peningkatan DM di populasi.
Kebijakan riset untuk DM sebaiknya memprioritaskan level primer, yaitu pencegahan DM. Penelitian yang bisa dilakukan di populasi salah satunya dengan memanfaatkan data sekunder (seperti data registry), yakni dengan mengamati faktor risiko yang dapat dimodifikasi, faktor perilaku, demografi, dan lingkungan. Riset menggunakan data sekunder ini tidak cukup dilakukan di pusat pendidikan saja, namun sebaiknya juga dilakukan di PPK tingkat 1. Sedangkan riset basic dan translational yang membutuhkan banyak sumber daya dapat difokuskan di pusat-pusat pendidikan.
Beberapa kendala terkait riset untuk DM di Indonesia antara lain adalah kebijakan tentang riset DM masih sangat kurang, penelitian masih terpusat di center, penelitian epidemologi DM memerlukan sumber daya yang cukup besar sedangkan dana penelitian dan sumber dana manusianya terbatas. Oleh karena itu, Imam mengusulkan perlunya kebijakan untuk pelatihan riset & GCP (good clinical practice) untuk hilirisasi penelitian; kebijakan untuk riset dan skrining pada populasi spesifik; kebijakan mengenai kolaborasi riset dengan stakeholder; kebijakan untuk kemudahan kolaborasi internasional, serta diperlukan pemanfaatan teknologi, registry dan monitoring serta evaluasi yang berkelanjutan.
Pembiayaan Diabetes Melitus – Analisis Data Sampel BPJS Kesehatan Tahun 2015-2020
Materi selanjutnya dibawakan oleh Faozi Kurniawan, SE, MPH yang menjelaskan mengenai analisis pembiayaan DM dari tahun 2015-2020. Jika melihat data sampel 1% BPJS Kesehatan, dari tahun 2015-2019 terjadi peningkatan kunjungan pasien ke FKTL setiap tahunnya, dan baru menurun di 2020 akibat pandemi Covid-19. Menilik data kunjungan per regional, jumlah kunjungan terbanyak ada pada provinsi-provinsi di regional 1, seperti Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta dan Banten; sedangkan yang terendah ada di provinsi-provinsi regional 4 dan 5, yaitu Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan Sulawesi Barat. Tingkat kunjungan yang rendah ini dapat disebabkan karena dana yang belum terserap atau memang belum terdeteksi penyakit DM di provinsi-provinsi tersebut.
Jika ditinjau dari klaim per segmen antara tahun 2015-2020, klaim tertinggi ada pada segmen PBPU (Pekerja Bukan Penerima Upah) dan PPU (Pekerja Penerima Upah). Sebagai penutup, Faozi menyimpulkan bahwa seluruh peserta BPJS Kesehatan bisa mendapatkan layanan, meskipun segmen PBI (Penerima Bantuan Iuran) belum memanfaatkan layanan itu sendiri. Karena itu, diperlukan sinergi kebijakan dan program dari dana pemerintah, dana BPJS kesehatan, dan dana swasta, serta kolaborasi untuk membangun infrastruktur di level bawah, pemenuhan SDM kesehatan, deteksi dini DM, dan kerjasama lintas sektor untuk merumuskan kebijakan yang tepat untuk DM.
Proposal Monitoring Impact Kebijakan transformasi untuk DM
Menurut Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc, Ph.D, untuk menekan prevalensi dan pembiayaan DM yang terus meningkat dari tahun ke tahun, diperlukan suatu kebijakan baru dalam penanganan DM di level kabupaten/kota. Kebijakan baru tentang DM ini harus berorientasi pada impact yang terukur, misalnya menggunakan indikator besar klaim INA-CBG terkait DM dan komplikasinya. Kebijakan terkait DM dapat diterapkan dari level pencegahan primer (hulu) hingga pencegahan tersier (hilir). Evaluasi kebijakan tersebut dapat menggunakan metode program logic atau realist evaluation.
Pada skema program logic, kebijakan baru DM diterapkan di salah satu level (primer/sekunder/tersier) dan ada 5 proses yang perlu diamati, mulai dari inputs, activities, outputs, impacts, hingga outcomes. Contohnya, program mobile health Prolanis adalah kebijakan yang berada di level sekunder. Kebijakan ini memiliki long-term impact berupa meningkatnya jumlah peserta dengan gula darah yang terkontrol dan menurunnya komplikasi akibat DM. Namun, masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi outcome akhir yang ingin dicapai dari program tersebut. Sementara itu pada skema realist evaluation, transformasi kebijakan DM dari hulu ke hilir diberikan dalam satu paket dan diterapkan di berbagai daerah yang berbeda, sehingga konteks tempat penerapan kebijakan DM yang baru menjadi faktor penting yang harus diamati. Sebagai evaluasi, pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan berikut: “Apakah kebijakan baru untuk DM berhasil/efektif? Berhasil untuk siapa, di provinsi mana? Sejauh mana keberhasilannya? Dalam konteks apa, serta bagaimana proses pencapaian keberhasilan tersebut?”
Reporter: Salwa Kamilia Cahyaning Hidayat, S.Gz (PKMK UGM)