Reportase
Dialog Kebijakan Diabetes Melitus Seri 7:
Kebijakan Pengembangan Peralatan Pencegahan untuk Diabetes Melitus
5 Oktober 2022
PKMK-Yogya. Tim Lintas Departemen FK-KMK UGM bekerjasama dengan Lintas Fakultas UGM, Pokja URT UGM, dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM menyelenggarakan webinar yang mengangkat topik tentang kebijakan pengembangan peralatan pencegahan untuk diabetes melitus. Webinar ini merupakan seri ke-7 dari rangkaian Webinar Dialog Kebijakan Diabetes Melitus yang telah dilaksanakan sejak Agustus dan akan berlangsung hingga November 2022. Di webinar seri ke-7 ini, telah dibahas lebih dalam mengenai inovasi alat kesehatan untuk skrining Retinopati Diabetik (RD) serta kebijakan tes HbA1c untuk diabetes melitus (DM). Kali ini, webinar dipandu oleh Ibu Ni Luh Putu Eka Andayani, SKM. M.Kes.
Inovasi Alat Kesehatan untuk Skrining Retinopati Diabetika
Pada sesi pertama, dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M, M.Epi, Ph.D membuka materi dengan menjelaskan apa itu kondisi retinopati diabetika. Pada pasien yang sudah menderita DM selama 5-10 tahun dengan gula darah tidak terkontrol, biasanya akan muncul bercak-bercak putih dan merah di bagian dalam mata yang bersifat permanen dan menimbulkan gangguan penglihatan. Jika ditangani lebih awal, seharusnya kondisi ini dapat terobati, namun sayangnya mayoritas pasien datang dengan kondisi retinopati yang sudah berkembang. Oleh karena itu diperlukan skrining retinopati bagi pasien DM, agar apabila terdeteksi adanya retinopati, maka pasien dapat diberikan terapi yang efektif untuk mencegah kebutaan.
Skrining RD di Indonesia perlu dilakukan karena memenuhi 4 hal berikut: a) RD merupakan masalah penting di populasi, dimana prevalensi RD di Indonesia mencapai 43-46%, dan 1 dari 4 pasien DM terancam penglihatannya; b) RD memiliki perjalanan penyakit yang jelas dan gejala awalnya dapat dikenali; c) Ada alat skrining RD yang mudah digunakan, murah, tidak invasif, dan telah tervalidasi, yaitu foto fundus; d) Ada opsi treatment bagi pasien yang telah teridentifikasi RD, yaitu tindakan laser fotokoagulasi yang mampu mengurangi keparahan penyakit sebesar 50% pada tahun 1 berikutnya.
Model skrining yang telah diterapkan di luar negeri antara lain menggunakan minivan keliling, namun hal ini belum memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia. Karena itu, Bayu dan tim mendesain kamera portable untuk mengambil foto fundus yang hasilnya dapat dihubungkan dengan aplikasi di smartphone, dan akan muncul rekomendasi apakah kondisi tersebut memerlukan treatment atau tidak. Jika sistem skrining ini dapat dikembangkan, maka diperkirakan dapat menghemat biaya kesehatan hingga 600 Miliar/tahun.
Menilik kebijakan yang ada saat ini, RD merupakan salah satu prioritas dalam penanggulangan gangguan penglihatan. Permenkes Nomor 82 Tahun 2020 menyebutkan bahwa diperlukan upaya deteksi dini RD di fasilitas kesehatan, namun implementasi dari kebijakan ini belum dilakukan. Sebagai penutup, Bayu mengusulkan perlunya dirumuskan turunan kebijakan mengenai skrining RD di level primer apabila alat skrining RD telah dikembangkan di Indonesia.
Kebijakan Tes HbA1c Sebagai Pemeriksaan Rutin Diabetes
Di sesi kedua, dr. Windarwati, M.Sc, SpPK(K) memperkenalkan terlebih dahulu mengenai proses pembentukan HbA1c serta kelebihan dan kekurangan pemeriksaan HbA1c untuk DM. Pemeriksaan HbA1c mempunyai kelebihan, antara lain mudah dan cepat, pasien tidak membutuhkan persiapan, dan ada metode yang terstandar; namun juga mempunyai kekurangan yaitu biayanya cukup mahal dan perlu perhatian khusus untuk pasien dengan kondisi tertentu.
Kebijakan tes HbA1c dalam diagnosis dan tata laksana DM diantaranya tertuang dalam Standard of Medical Care in Diabetes – 2020 dari American Diabetes Association, Pedoman PERKENI tahun 2021, dan Keputusan Menteri Kesehatan RI Tahun 2020 tentang PNPK Tata Laksana Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa. Menurut ketiga pedoman tersebut, diagnosis DM dapat ditegakkan jika hasil pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan metode yang telah distandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standardization Program (NGSP) dan DCCT Assay, yaitu dengan metode high performance liquid chromatography (HPLC). Dalam pedoman tersebut juga dijelaskan bahwa pasien prediabetes yang memiliki kadar HbA1c antara 5,7-6,4% perlu dites ulang setiap tahunnya.
Dalam tata laksana DM, HbA1c menjadi sasaran kendali glukosa darah dengan target HbA1c <7% pada individu penderita DM. Evaluasi HbA1c juga merupakan bagian dari evaluasi komprehensif yang harus dilakukan saat seseorang terdiagnosis DM, saat follow up bulanan, dan saat kunjungan tahunan. Namun jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan pemberian terapi dapat menggunakan hasil pemeriksaan glukosa darah, tetapi kadar rata-rata glukosa darah tidak dapat secara akurat menggambarkan kadar HbA1c yang sesungguhnya.
Reporter: Salwa Kamilia Cahyaning Hidayat, S.Gz (PKMK UGM)