Reportase
Dialog Kebijakan Diabetes Melitus Seri 4:
Kebijakan Diabetes Melitus di Layanan Rujukan
7 September 2022
PKMK – Yogya. Tim Lintas Departemen FK – KMK UGM bekerjasama dengan Lintas Fakultas UGM, Pokja URT UGM, dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK – KMK UGM menyelenggarakan webinar Kebijakan Diabetes Melitus di Layanan Rujukan. Webinar ini merupakan seri ke-4 dari rangkaian Webinar Dialog Kebijakan Diabetes Melitus yang telah dilaksanakan sejak Agustus dan akan berlangsung hingga Oktober 2022. Webinar seri ke-4 ini bertujuan untuk membahas lebih dalam mengenai kebijakan atau regulasi tata laksana DM di layanan rujukan di Indonesia, best practices dalam tata laksana DM di layanan rujukan luar negeri, serta usulan kebijakan terkait tata laksana DM di layanan rujukan untuk masa mendatang.
Pengantar: Rangkuman Kebijakan DM di Layanan Primer
Sebagai pengantar untuk mengawali webinar seri ke-4, dr. Vina Yanti Susanti, Sp.PD-KEMD, M.Sc., Ph.D selaku Ketua Kelompok Kerja Kebijakan DM mengajak para audiens untuk mengingat kembali materi yang telah disampaikan pada webinar seri sebelumnya mengenai kebijakan DM di layanan primer. Pada tahun 2020, penyakit – penyakit katastropik menghabiskan biaya klaim kesehatan sebesar 20 Triliun Rupiah. Hal ini berkaitan dengan tingginya prevalensi penyakit DM yang diikuti dengan peningkatan komplikasi akibat DM, seperti penyakit kardiovaskular, gagal ginjal dan stroke, yang seluruhnya merupakan penyakit katastropik.
Oleh karena itu, untuk menghemat biaya kesehatan, diperlukan upaya untuk menurunkan prevalensi komplikasi DM melalui pengontrolan kadar gula darah, tekanan darah, dan kolesterol; pemeriksaan rutin mata; pemeriksaan rutin kaki dan edukasi cara merawat kaki kepada pasien; serta deteksi dini dan manajemen penyakit ginjal diabetes. Agar upaya – upaya tersebut dapat terwujud secara maksimal, maka pengelolaan DM di layanan primer harus diperkuat, diantaranya melalui pengelolaan penyakit DM yang bersifat komprehensif mulai dari fase prediabetes, diabetes, hingga skrining dini komplikasi DM; kerja sama tim multidisiplin; peningkatan pengetahuan dan kemampuan pasien dalam mengelola penyakitnya; perbaikan sistem informasi data pasien DM; serta pengembangan model layanan DM yang menyesuaikan konteks masyarakat yang ditangani.
Isu Kebijakan DM di Layanan Rujukan
Pada sesi pertama, dr. Prenali Dwisthi Sattwika, Sp.PD menyampaikan materi mengenai regulasi/kebijakan DM di layanan rujukan. Menurut data, diperkirakan pada 2030 jumlah penderita DM di Indonesia mencapai 21,3 juta jiwa, jauh meningkat dibandingkan pada tahun 2000 yang berjumlah sekitar 8,4 juta jiwa. Prevalensi DM di DIY sendiri cukup tinggi, dimana DIY merupakan provinsi dengan jumlah penderita DM ketiga terbanyak di Indonesia (Riskesdas, 2018). Berdasarkan hal tersebut, maka sangat penting untuk mengetahui apakah pelayanan rujukan bagi penyakit DM dan komplikasinya sudah paripurna atau masih memerlukan perbaikan.
Tata laksana DM di layanan rujukan di Indonesia diatur dalam beberapa regulasi, diantaranya adalah Permenkes Nomor 71 tahun 2013, Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK/Menkes/32/I/2014, Peraturan Diretur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 4 Tahun 2018, PNPK Diabetes Melitus Tipe 2 Dewasa, Formularium Nasional 2019, dan PERKENI 2020. Namun, Prenali menyampaikan masih ditemukan kendala dari kebijakan – kebijakan yang ada, misalnya, kebijakan mengenai skrining penyakit DM tipe 2 yang tertulis dalam Permenkes Nomor 71 Tahun 2013 hanya mencakup skrining gula darah, tidak termasuk skrining untuk komplikasi DM. Faktanya, pasien DM memiliki risiko tinggi mengalami komplikasi dan komorbid sehingga sebaiknya perlu dideteksi lebih awal.
Kendala lainnya terkait ketentuan rujukan pasien DM. Menurut PERKENI 2020, penyakit DM dengan 2 komplikasi harus ditangani oleh dokter spesialis penyakit dalam, dan jika terdapat lebih dari 2 komplikasi, maka perlu ditangani oleh konsultan endokrin yang bekerjasama dengan ahli lainnya. Namun pada kenyataannya, proses rujukan dari dokter spesialis ke konsultan sulit dilakukan karena kebijakan BPJS membatasi jumlah rujukan pasien.
Best-Practice Tata Laksana DM dengan Komplikasi di Layanan Kesehatan Rujukan Luar Negeri yang Dapat Dijadikan Benchmark
Sebagai pembuka sesi kedua, dr. Raden Bowo Pramono, Sp.PD-KEMD menyampaikan bahwa saat ini jumlah pasien yang terdiagnosis DM lebih sedikit daripada yang belum terdiagnosis. Banyak pasien yang baru mengetahui bahwa mereka mengalami DM saat sudah dirawat di layanan rujukan karena penyakit stroke atau komplikasi lainnya, padahal jika pasien – pasien tersebut dapat menyadari lebih awal, maka kasus komplikasi DM dapat berkurang. Menurut Bowo, pelayanan DM di tingkat tersier sendiri perlu mencakup beberapa aspek, meliputi layanan rawat inap dan rawat jalan; adanya dokter spesialis dan dokter spesialis konsultan; adanya program berbasis edukasi bagi pasien dan tenaga kesehatan, serta monitoring outcome secara berkala; dan adanya tim interdisiplin yang terdiri dari endokrinologi, edukator diabetes, dietisien, psikolog, dan berbagai dokter spesialis.
Indonesia dapat mencontoh Australia yang telah menerapkan chronic care model dalam penanganan diabetes kompleks, yaitu suatu model pelayanan penyakit kronis yang berfokus pada pasien. Elemen yang terdapat dalam chronic care model antara lain adalah edukasi untuk meningkatkan kesadaran pasien dalam merawat dirinya sendiri, sistem rujukan yang efektif, pengambilan keputusan yang evidence-based, dan adanya sistem informasi data pasien yang terintegrasi. Dalam setting perawatan penyakit diabetes, Indonesia dapat menerapkan diabetic care models. Dalam model ini, ada tiga (3) elemen utama yang beperan penting untuk mencapai tata laksana DM yang optimal, yaitu tenaga kesehatan interdisiplin yang kompeten, teknologi yang dapat memudahkan pengontrolan glukosa darah, dan infrastruktur kesehatan yang memadai.
Gap Kebijakan Tata Laksana DM di Layanan Rujukan dan Usulan Policy Making terkait DM di Layanan Rujukan
Pada sesi terakhir, dr. Imam Manggalya Adhikara, PhD., Sp.PD menjelaskan bahwa terdapat gap antara kebijakan DM yang ada saat ini dengan apa yang idealnya dapat dilakukan. Menurut data, hampir 70% pasien DM di Indonesia tidak mencapai target level HbA1c dan gula darah puasa. Padahal, penurunan 1% HbA1c dapat mengurangi komplikasi DM jangka panjang termasuk amputasi, komplikasi mikrovaskuler, ekstraksi katarak, gagal jantung, infark miokard dan stroke. Oleh karena itu, Imam menyoroti dua poin utama yang perlu diperhatikan, yaitu continuity of care (keberlanjutan terapi DM) serta comprehensive and integrated management, termasuk deteksi dini, promosi kesehatan sejak awal, dan sistem electronic medical report yang terintegrasi dengan baik. Harapannya, prevalensi komplikasi DM dan klaim biaya kesehatan dapat menurun.
Menilik realita kebijakan DM di layanan rujukan saat ini, terdapat beberapa kendala yang menyulitkan pasien, diantaranya adalah kebijakan yang mengatur bahwa setiap pasien hanya bisa dirujuk kepada 1 poli dalam 1 hari, sehingga pasien dengan beberapa komplikasi DM perlu datang berkali – kali. Selain itu, banyak pasien yang tertahan di PPK tingkat 1 dan PPK tingkat 2, tidak dirujuk ke PPK tingkat 3 karena terkendala biaya. Layanan konseling gizi di faskes tersier juga masih bervariasi akibat belum tersedianya peraturan khusus yang mengatur tentang gizi pada pasien DM.
Sebagai penutup, Imam menyampaikan beberapa rekomendasi untuk kebijakan DM di masa mendatang, termasuk usulan pemberian akses untuk pemeriksaan HbA1c di layanan primer; usulan kebijakan pemberian insulin kepada pasien di layanan primer; perbaikan peraturan tentang pembatasan rujukan internal pasien BPJS di faskes lanjutan; serta peningkatan kolaborasi multidisiplin sejak awal inisiasi terapi.
Reporter: Salwa Kamilia Cahyaning Hidayat, S.Gz (PKMK UGM)