Reportase Webinar
Dialog Kebijakan Diabetes Melitus Seri 5:
Diskusi Rangkuman Hasil Webinar Seri 2, 3, dan 4
14 September 2022
PKMK – Yogya. Tim Lintas Departemen FK – KMK UGM bekerjasama dengan Lintas Fakultas UGM, Pokja URT UGM, dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK – KMK UGM menyelenggarakan webinar yang bertajuk Diskusi Rangkuman Hasil Webinar Seri 2, 3, dan 4. Webinar ini merupakan seri ke-5 dari rangkaian Webinar Dialog Kebijakan Diabetes Melitus yang telah dilaksanakan sejak Agustus dan berlangsung hingga November 2022. Webinar seri ke-5 ini secara khusus diselenggarakan untuk merangkum isu – isu serta usulan kebijakan diabetes melitus mulai dari pencegahan, layanan primer, hingga layanan rujukan, yang telah dijelaskan secara mendalam pada webinar seri – seri sebelumnya. Selain itu, pada webinar ini juga dibahas mengenai kepemimpinan dan peran Academic Health System (AHS) dalam proses pengembangan kebijakan – kebijakan baru DM.
Kebijakan DM dari Level Pencegahan, Layanan Primer, Hingga Layanan Rujukan
Sesi pertama webinar dibawakan oleh perwakilan dari narasumber webinar seri 2, 3, dan 4. Sebagai pembuka, Dr. Supriyati, S.Sos., M.Kes menyampaikan pentingnya kebijakan rekayasa lingkungan sebagai upaya prevensi DM di Indonesia. Menilik realita saat ini, telah kita ketahui bersama bahwa prevalensi DM terus meningkat dari waktu ke waktu. Namun yang memprihatinkan, prevalensi DM tersebut belum mencerminkan kondisi yang sebenarnya. Bahkan, beberapa penelitian menunjukkan prevalensi DM mencapai 2 hingga 3 kali lipat lebih banyak dibandingkan data yang ada. Walaupun sudah banyak upaya yang dilakukan untuk menekan angka penyakit DM, namun masih banyak kendala yang harus dihadapi, seperti rendahnya tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatan yang sedang dijalani, serta adanya infodemik dan stigma di masyarakat yang menyebabkan masyarakat kesulitan mengambil keputusan yang tepat untuk mencegah terkena DM. Berdasarkan hal tersebut, dapat kita ketahui bahwa kebijakan pencegahan DM yang ada saat ini belum komprehensif. Di level pusat, diperlukan perumusan kebijakan pencegahan DM yang menyasar seluruh level (primer, sekunder dan tersier) dengan mengedepankan pada pencegahan primer. Di level pemerintah daerah, pencegahan primer dapat diintegrasikan dengan sistem pendidikan seperti peningkatan aktivitas fisik di sekolah, penyediaan fasilitas aktivitas fisik bersama bagi masyarakat, subsidi harga makanan sehat, serta mendorong optimalisasi sinergi lintas sektor.
Melanjutkan materi, dr. Prenali Dwisthi Sattwika, Sp.PD memaparkan mengenai isu kebijakan DM saat proses perujukan. Salah satunya adalah kebijakan skrining DM. Saat ini, skrining DM hanya mencakup skrining gula darah, tidak termasuk skrining untuk komplikasi atau komorbid lain. Selain itu, pasien DM seharusnya dapat dilayani oleh seluruh tenaga kesehatan dan keperawatan yang ada di rumah sakit tersier sesuai indikasi penyakitnya, namun kenyataannya, banyak pasien yang tertahan di PPK tingkat 1 dan PPK tingkat 2, tidak dirujuk ke PPK tingkat 3. Prenali juga menyampaikan mengenai isu kebijakan DM di rumah sakit rujukan, dimana rujukan internal hanya bisa berlaku satu kali sehingga pasien dengan komplikasi diabetes tidak bisa ditangani secara tuntas dalam waktu singkat. Terakhir, Prenali membahas beberapa isu dalam Program Rujuk Balik (PRB) untuk penyakit DM. Isu – isu tersebut diantaranya tidak memadainya sumber daya pada PPK tingkat 1; kriteria pengobatan DM yang belum optimal; dan kebijakan pemberian insulin di FKTP (yang bekerja sama dengan apotek atau depo farmasi) saat ini hanya tersedia di FKTP tertentu saja.
Sebagai penutup, Dr. Diah Ayu Puspandari Apt, MBA M.Kes membahas dari sisi pembiayaan penyakit DM. Jika dilihat dari laporan Kementerian Kesehatan RI tahun 2020, pembiayaan untuk Penyakit Tidak Menular (PTM) memiliki porsi terbesar pada skema JKN, begitu pula pada data BPJS yang menunjukkan bahwa pembiayaan penyakit katastropik mencakup 25 – 31% dari total klaim kesehatan. Artinya, pembiayaan untuk penyakit katastropik saat ini lebih berat ke layanan kuratif dibandingkan layanan preventif. Diah juga menekankan pada kurangnya intervensi untuk kondisi prediabetes. Berdasarkan kajian Center for Disease Control and Prevention, 1 dari 3 orang dewasa berada pada kondisi prediabetes, namun hanya 7-10% yang menyadari hal tersebut. Jika dibiarkan tanpa intervensi apapun, maka 30% kondisi prediabetes ini akan berkembang menjadi DM tipe 2 dalam jangka waktu 3 tahun. Hal ini tentunya akan memberikan beban yang sangat besar terhadap individu, masyarakat, dan sistem kesehatan. Berdasarkan hal tersebut, Diah berharap adanya transformasi kebijakan mengenai DM yang mengedepankan pendekatan inovatif, integratif, serta perlu adanya kontinuitas yang komprehensif.
Memperkuat Jaringan Pengendalian Penyakit di Sebuah Wilayah dengan Prinsip Transformasi: Studi Kasus DM
Pada sesi kedua, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, M.Sc., Ph.D menyampaikan materi yang menekankan pada kepemimpinan dan peran Academic Health System (AHS) untuk inovasi kebijakan baru diabetes melitus. Menurut data sampel BPJS Kesehatan, biaya klaim untuk penyakit – penyakit akibat komplikasi DM seperti jantung, gagal ginjal dan stroke terus meningkat tajam. Oleh karena itu, diperlukan adanya kebijakan DM yang baru dengan harapan dapat memberikan impact terhadap laju pertumbuhan klaim INA-CBG, yang saat ini memiliki perbedaan yang sangat signifikan antara provinsi di Jawa dan luar Jawa. Berdasarkan perbedaan tersebut, Laksono menyampaikan bahwa kita dapat mengadopsi prinsip kebijakan transformasi kesehatan di pusat untuk mengembangkan kebijakan – kebijakan pengelolaan DM yang baru di level Kabupaten/Kota.
Transformasi pengelolaan DM di sebuah wilayah dapat berjalan optimal dengan adanya dukungan pembiayaan, Sumber Daya Manusia (SDM), dan teknologi untuk pengendalian DM. Karenanya, diperlukan suatu kelompok penggiat DM di Kabupaten/Kota untuk melakukan transformasi dalam pengelolaan DM. Mengapa harus di level kabupaten/kota? Berdasarkan data sampel BPJS Kesehatan, jumlah kunjungan pasien DM di Kabupaten/Kota terus meningkat dari tahun ke tahun, sehingga diperlukan usaha penanggulangan DM di setiap Kabupaten/Kota. Anggota kelompok penggiat DM ini dapat berasal dari berbagai profesi seperti dokter, akademisi, pemerintah, pengelola dana, dan sebagainya, namun harus mempunyai komitmen bersama untuk menurunkan komplikasi DM dengan pendekatan hulu ke hilir. Diharapkan, kelompok penggiat DM ini merupakan jaringan sosial yang tidak terikat dengan birokrasi apapun.
Sebagai penutup, Laksono mengajak audiens untuk berpikir, siapa pemimpin yang tepat untuk kelompok jaringan sosial DM ini? Tanpa adanya pemimpin yang berkomitmen terhadap pengendalian DM, maka akan sulit untuk mencapai tujuan penurunan biaya klaim BPJS. Laksono juga menegaskan peran AHS, yakni AHS dibentuk tidak hanya untuk memaksimalkan aspek akademik saja, tetapi juga untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat di wilayahnya sehingga dapat berkontribusi pada penurunan klaim biaya BPJS terkait DM.
Reporter: Salwa Kamilia Cahyaning Hidayat, S.Gz (PKMK UGM)